PENGHULU SEGALA NABI DAN RASUL BUTA HURUF??!!

KHOTBAH 209
Seseorang bertanya kepada Amirul
Mukminin tentang hadis-hadis palsu
yang diada-adakan orang, yang
bertentangan dengan ucapan Nabi, yang
terdapat di kalangan rakyat.[1]Atasnya
Amirul Mukminin berkata:
Sesungguhnya apa yang berada di
kalangan rakyat itu adalah benar
(haqq) dan batil (bâthil) sekaligus,
benar (shidg) dan dusta (kidzb),
menasakh dan dinasakhkan, yang umum
dan yang khusus, yang jelas dan samar.
Bahkan di zaman Nabi, ucapan-ucapan
dusta telah diatributkan kepada beliau
sedemikian rupa sehingga Nabi
mengatakan dalam khotbah
beliau, “Barangsiapa berdusta tentang
saya maka sedialah tempatnya di
neraka.” Orang-orang yang meriwayatkan
hadis terbagi dalam empat jenis, tak
lebih.[2]

Pertama: Kaum Munafik Pendusta
Orang munafik adalah orang yang
memamerkan keimanan dan mengambil
wajah seorang Muslim; ia tak ragu-ragu
berbuat dosa dan tidak menjauh dari
kemungkaran; ia dengan sengaja
mengatributkan hal-hal yang dusta
kepada Rasulullah SAWW. Apabila orang
tahu bahwa ia seorang munafik dan
pembohong, mereka tidak akan menerima
apa pun dari dia dan tidak akan
mengukuhkan apa yang dikatakannya.

Sebaliknya, mereka katakan bahwa ia
sahabat Nabi, ia telah bertemu dengan
beliau, mendengar (kata-kata beliau)
dari beliau dan mendapatkan
(pengetahuan) dari beliau. Oleh karena
itu mereka mendengarkan apa yang
dikatakannya. Allah juga telah
mempetingatkan kepada Anda tentang
orang-orang munafik dan menggambarkan
mereka sepenuhnya bagi Anda. Mereka
telah berlanjut setelah Rasulullah.
Mereka beroleh kedudukan dengan para
pemimpin sesat dan pendakwah ke neraka
melalui kepalsuan dan fitaah. Maka
mereka menempatkan mereka (para
munafik) itu pada jabatan-jabatan
tinggi dan menjadikan mereka para
pejabat di atas kepala-kepala rakyat
dan menumpuk harta melalui mereka.
Orang-orang selalu bersama para
penguasa dan mengejar dunia ini,
kecuali orang-orang kepada siapa Allah
memberikan perlindungan. Ini yang
pertama dari keempat golongan itu.

Kedua: Orang yang Keliru
Kemudian ada orang yang mendengar
(suatu ucapan) dari Rasulullah tetapi
tidak menghafalnya sebagaimana adanya,
melainkan menyimpulkannya. la tidak
berdusta dengan sengaja. Lalu ia
membawa ucapan itu dan
meriwayatkannya, mengamalkannya dan
mengaku bahwa, “Saya mendengarnya dari
Rasulullah.” Apabila kaum Muslim itu
mengetahui bahwa ia telah melakukan
suatu kekeliruan dalam hal itu, mereka
tidak akan menerimanya dari dia, dan
apabila ia sendiri mengetahui bahwa ia
keliru maka ia akan melepaskannya.

Ketiga: Orang yang Tak Tahu
Orang yang ketiga adalah orang yang
mendengar Rasulullah SAWW
memerintahkan untuk melakukan sesuatu,
dan kemudian Nabi melarang orang
melakukannya, tetapi orang itu tidak
mengetahuinya. Atau ia mendengar Nabi
melarang orang terhadap sesuatu dan
kemudian beliau mengizinkannya, tetapi
orang itu tidak mengetahuinya. Dengan
demikian ia memelihara dalam
pikirannya apa yang telah dihapuskan
dan tidak menahan hadis yang
menggantikannya. Apabila ia tahu bahwa
hal itu telah dihapus maka ia akan
menolaknya, atau apabila kaum Muslim
tahu, ketika mereka mendengarnya dari
dia, bahwa hal itu telah dihapus, maka
mereka akan menolaknya.

Keempat: Orang yang Menghafal dengan
Benar
Yang terakhir, yakni orang yang
keempat, adalah orang yang tidak
berbicara dusta terhadap Allah maupun
terhadap Rasul-Nya. la benci akan,
kepalsuan karena takut kepada Allah
dan menghormati Rasulullah, dan tidak
membuat kekeliruan, tetapi menahan (di
pikirannya) tepat apa yang
didengaraya, dan ia meriwayatkannya
sebagaimana ia mendengarnya, tanpa
menambah sesuatu atau meninggalkan
sesuatu. la mendengar hadis yang
menasakh, ia menahannya dan beramal
menurutnya, dan ia mendengar tentang
hadis yang sudah dinasakh dan
menolaknya. la juga mengerti (tentang
hal-hal) yang khusus dan yang umum,
dan ia tahu yang umum dan yang khusus,
dan menempatkan segala sesuatu pada
kedudukannya yang semestinya.

Ucapan-ucapan Rasulullah biasanya
terdiri dari dua jenis. yang satu
khusus dan yang lainnya umum. Kadang-
kadang seorang lelaki mendengar beliau
tetapi ia tak tahu apa yang dimaksud
Allah Yang Mahasuci dengannya atau apa
yang dimaksud Nabi dengan itu. Secara
ini si pendengar membawanya dan
menghafalnya tanpa mengetahui maknanya
dan maksudnya yang sesungguhnya, atau
apa sebabnya. Kalangan sahabat
Rasulullah semua tidak biasa
mengajukan pertanyaan dan menanyakan
maknanya kepada beliau; sebenarnya
mereka selalu menginginkan seorang
Badui atau orang asing datang dan
menanyakan kepada beliau SAWW supaya
mereka pun dapat mendengarkan.
Bilamana suatu hal semacam itu terjadi
pada saya, saya bertanya kepada beliau
tentang artinya dan memeliharanya.
Itulah sebab dan dasar perbedaan di
kalangan orang tentang hadis-hadis
mereka.•

—————————————
—– ———————————-

[1] Orang itu ialah Sulaim ibn Qais al-
Hilali yang merupakan salah seorang
periwayat hadis melalui Amirul
Mukminin.

[2] Dalam Khotbah ini Amirul Mukminin
membagi-bagi para periwayat hadis
dalam empat kategori.

Kategori pertama, seseorang mengada-
adakan sebuah hadis lalu
mengatributkannya kepada Nabi. Hadis-
hadis palsu ini dan diatributkan
kepada beliau, dan proses ini
berlanjut, dengan hasil munculnya
banyak hadis baru. Ini suatu kenyataan
yang tak tersangkal. Tetapi, bilamana
seseorang menyangkalnya, basisnya
bukan pengetahuan atau kearifan
melainkan kebutuhan oratoris atau
argumentatif. Maka, pada suatu
ketika ‘Allamul Huda Sayid al-Murtadha
berkesempatan bertemu dengan seorang
ulama Sunni dalam konfrontasi dan pada
kesempatan itu Sayid al-Murtadha
membuktikan dengan fakta-fakta sejarah
bahwa hasis-hadis tentang keutamaan
para sahabat besar telah diada-adakan
dan palsu. Atasnya, ulama Sunni itu
membantah bahwa mustahil bahwa ada
seorang berani mengucapkan suatu dusta
terhadap Nabi dan mengada-adakan hadis
sendiri lalu mengatributkannya kepada
beliau. Sayid Murtadha mengatakan
bahwa ada hadis Nabi
menyebutkan, “Banyak hal-hal batil
akan diatributkan kepada saya setelah
saya mati, dan barangsiapa berkata
dusta tentang saya sedialah
kediamannya di neraka. (al-Bukhârî, I,
h. 38, II, h. 102, IV, h. 207, VIII,
h. 54; Muslim, VIII, h. 229; Abû
Dawûd, III, h. 319-320; Tirmidzî, IV,
h. 524, V, h. 35-36, 40, 199, 634; Ibn
Mâjah, I, h. 13-15)

Apabila Anda memandang hadis ini
benar, maka Anda harus menyetujui
bahwa hal-hal batil telah diatributkan
kepada Nabi; tetapi bila Anda
memandangnya batil (palsu) maka ini
akan membenarkan pendapat kami.”
Namun, orang-orang itu berhati munafik
dan yang biasa mengada-adakan “hadis”
mereka sendiri untuk menciptakan
bencana dan perpecahan dalam agama dan
menyesatkan kaum Muslim yang
berkeyakinan lemah. Mereka tetap
bercampur dengan kaum Muslim
sebagaimana mereka lakukan di masa
hidup Nabi; dan sebagaimana mereka
tetap sibuk dalam kegiatan-kegiatan
membawa bencana dan kehancuran di hari-
hari itu, demikian pula setelah Nabi
pun mereka tak ragu-ragu untuk
mengubah ajaran Islam dan mengubah
wajahnya. Malah, di masa Nabi mereka
selalu takut kalau-kalau beliau
mengungkapkan tabir dan mempermalukan
mereka, tetapi setelah wafatnya Nabi
kegiatan munafik mereka meningkat dan
mereka mengatributkan hal-hal batil
kepada Nabi tanpa merisaukan akhir
nasib mereka sendiri. Dan orang-orang
yang mendengarkan mereka mempercayai
mereka karena status mereka sebagai
sahabat Nabi, dengan berpikir bahwa
apa saja yang mereka katakan adalah
tepat dan apa saja yang mereka berikan
adalah benar. Kemudian, kepercayaan
bahwa semua sahabat itu benar menjadi
pembungkam lidah, yang menyebabkan
mereka dianggap di luar kritik,
pertanyaan, pembahasan dan sensor. Di
samping itu, kineija mereka yang
mencolok membuat meieka menonjol di
mata pemerintah dan karena itu pula
diperlukan keberanian untuk berbicara
melawan mereka. Ini dibuktikan oleh
kata-kata Amirul Mukminin,

“Orang-orang ini beroleh kedudukan
pada para pemimpin kesesatan dan
penyeru ke neraka, melalui kebatilan
dan fitnah. Maka, mereka (penguasa)
menempatkannya pada kedudukan tinggi
dan menjadikannya pejabat di atas
kepala rakyat.”

Bersama dengan penghancuran Islam,
kaum munafik juga bertujuan menumpuk
harta. Mereka berbuat demikian secara
bebas sambil mengaku Muslim, yang
karenanya mereka tidak hendak
melepaskan kedok Islam dan keluar
secara terbuka, melainkan meneruskan
kegiatan setani mereka dalam jubah
Islam dan menyibukkan diri dalam
penghancurannya secara mendasar dan
menyebarkan perpecahan dengan mengada-
adakan hadis palsu. Sehubungan dengan
ini Ibn Abil Hadîd menulis,

“Bilamana mereka dibiarkan bebas,
mereka pun meninggalkan banyak hal.
Bilamana rakyat berlaku diam tentang
mereka, mereka pun berlaku diam
tentang Islam, tetapi mereka terus
melanjutkan kegiatan gelap mereka
seperti pemalsuan hadis yang
disinggung Amirul Mukminin, karena
banyak hal yang tak benar telah
dicampuradukkan dengan hadis oleh
sekelompok orang yang berkepercayaan
batil yang bertujuan sesat dan
memutarbalikkan pandangan dan
kepercayaan, sementara sebagian dari
mereka juga bertujuan menonjol-
nonjolkan suatu pihak tertentu dengan
siapa mereka mempunyai tujuan-tujuan
duniawi lain pula.”

Setelah lewatnya masa itu, ketika
Mu’awiyah mengambil alih kepemimpinan
agama dan menduduki tahta kekuasaan
duniawi, ia membuka suatu bagian resmi
untuk memproduksi hadis palsu, dan
memerintahkan para pejabatnya untuk
mengada-adakan hadis dan
mempopulerkannya dalam menistakan
Ahlulbait Nabi, dan dalam menonjol-
nonjolkan ‘Utsman dan Bani Umayyah,
dan menjanjikan hadiah dan pemberian
tanah untuk perbuatan itu. Akibatnya,
banyak hadis tentang keutamaan yang
dibuat-buat beroleh jalan masuk ke
dalam kitab-kitab hadis. Maka, Abul
Hasan al-Madâ’inî menulis dalam
kitabnya Kitab al-Ahdats dan dikutip
oleh Ibn Abil Hadîd, yakni,

“Mu’awiah menulis kepada para
pejabatnya bahwa mereka harus
memperhatikan secara khusus orang-
orang yang terpaut kepada ‘Utsman,
para pembela dan pencintanya, untuk
menghadiahkan kedudukan tinggi,
keutamaan dan kehormatan kepada orang-
orang yang mriwayatkan hadis-hadis
tentang keutamaannya dan
keislimeaannya, dan menyampaikan
kepadanya apa saja yang diriwayatkan
tentang seseorang, bersama namanya,
nama ayahnya dan nama sukunya. Para
pejabatnya berbuat sesuai dengan itu
dan mengumpulkan hadis-hadis tentang
keutamaan dan keistimewaan ‘Utsman,
karena Mu’awiah biasa memberi hadiah,
pakaian dan tanah kepada mereka.”

Bilamana hadis-hadis palsu tentang
keutamaan ‘Utsman itu telah tersiar di
seluruh kerajaan, maka dengan gagasan
bahwa kedudukan para khalifah yang
sebelumnya tak boleh tetap rendah,
Mu’awiyah menulis kepada para
pejabatnya,

“Segera setelah Anda menerima perintah
saya ini, Anda harus memanggil rakyat
untuk mempersiapkan hadis-hadis
tentang keutamaan para sahabat dan
para khalifah lain pula, dan
perhatikanlah bahwa apabila seorang
Muslim meriwayatkan suatu hadis
tentang ‘Abfl Turab (‘Ali), Anda harus
menyediakan suatu hadis yang sama
tentang para sahabat untuk melawannya,
karena hal ini memberikan kepada saya
kegembiraan besar dan kesejukan di
mata saya, dan hal itu melemahkan
kedudukan Abu Turab dan orang-orang
yang beipihak kepadanya, dan lebih
keras terhadap mereka daripada
keutamaan dan keistimewaan ‘Utsman.”

Ketika surat-suratnya dibacakan kepada
rakyat, sejumlah besar hadis semacam
itu diiiwayatkan, yang memuji-muji
para sahabat, yang dibuat-buat tanpa
mengandung kebenaran. (Syarh Nahjul
Balâghah, XI, h. 43-47)

Dalam hubungan ini Abu ‘Abdullah
Ibrahim ibn ‘Arafah yang dikenal
sebagai Nifthawaih (244-323 H./856-935
M.), ulama dan pakar hadis terkemuka,
menulis, dan Ibn Abil Hadîd
mengutipnya,

“Kebanyakan dari hadis palsu tentang
keutamaan para sahabat dibikin di
zaman Mu’awiah untuk beroleh kedudukan
di hadapannya, karena menurut
pandangannya dengan cara itu ia dapat
menghina dan merendahkan Bani Hâsyim.”
(ibid)

Setelah itu pemalsuan hadis menjadi
suatu kebiasaan; para pencari dunia
menjadikannya sarana untuk mendapatkan
kedudukan di sisi para raja dan
bangsawan, dan untuk mengumpul
kekayaan. Misalnya, Ghiyât ibn Ibrahim
an-Nakha’î (abad kedua Hijrah) membuat
suatu hadis tentang terbangnya merpati
untuk menghibur Khalifah ‘Abbasiah al-
Mahdi ibn Manshflr dan beroleh
kedudukan di sisinya. (Tarikh al-
Baghdâdî, XH, h. 323-327; Mîzânu
I’tidâl, m, h. 337-338; Lisân al-
Mîzân, IV, h. 422). Abu Sa’id al-
Madâ’inî dan lain-lain menjadikannya
sarana untuk mencari rezeki. Puncaknya
ercapai ketika al-Karramiyyah dan
sebagian al-Mutashawwifah memberikan
penetapan bahwa mengada-adakan hadis
untuk mencegah dosa atau untuk
meyakinkan ke arah ketaatan adalah
halal. Akibatnya, sehubungan dengan
amar makruf nahi mungkar, hadis-hadis
diada-adakan dengan bebas, dan ini
tidak dipandang bertentangan dengan
hukum agama atau moral. Malah
pekerjaan ini pada umumnya dilakukan
oleh orang-orang yang berpenampilan
pertapa atau takwa, yang melewati
malamnya dalam salat dan doa dan
mengisi siang harinya dengan daftar
pembuatan hadis palsunya. Suatu
gagasan tentang jumlah hadis palsu ini
dapat diperoleh pada kenyataan bahwa
dari 600.000 hadis, al-Bukhari memilih
2.761 hadis (Târîkh al-Baghdâdî, II,
h. 8; Shifatush-Shafwah, IV, h. 143),
Muslim merasa pantas memilih 4.000
dari 300.000 (Târîkh Al-Baghâdî, XIII,
h. 101; al-Muntazham, V, h. 32;
Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 151, 157;
Wafayât al-A’yân, V, h. 194). Abu
Dawud mengambil 4.800 dari 500.000
(Târîkh al-Baghdâdî, IX, h. 57;
Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 154; al-
Muntazham, V, h. 97; Wafayât al-
A ‘yân, II, h. 404; dan Ahmad ibn
Hanbal mengambil 30.000 dari hampir
1.000.000 hadis (Târîkh al-Baghdâdî,
IV, h. 419-420; Thabaqât al-Huffâzh,
II, h. 17; Wafayât al-A’yân, I, h. 64;
Tahdzîb at-Tahdzîb, I, h. 74). Akan
tetapi, bila pilihan ini dikaji,
beberapa hadis darinya sama sekali
mustahil diatributkan kepada Nabi.
Hasilnya ialah bahwa sekelompok besar
telah muncul di kalangan kaum Muslim
yang, mengingat kitab-kitab yang
disebut koleksi hadis yang otoritatif
dan benar ini, sepenuhnya menolak
nilai pembuktian hadis. (Untuk rujukan
selanjutnya, lihatlah al-Ghadîr, V, h.
208-378)

Kategori kedua, para perawi hadis
adalah orang-orang yang, tanpa menilai
waktu atau konteksnya, meriwayatkan
apa saja yang mereka ingat, benar atau
salah. Maka, dalam al-Bukhari (jilid
II, h. 100-102; jilid V, h. 98),
Muslim (jilid III, h. 41-45); Tirmidzi
(jilid III, h. 327-329); an-Nasa’i
(jilid IV, h. 18); Ibn Majah (jilid I,
h. 508-509); Malik ibn Anas (al-
Muwaththa’, jilid I, h. 234; Syafi’i
(Ikhtilâful Hadîs, pada garis pinggir
tentang “al-Umm”, jilid VII, h. 41,
42) dan al-Baihaqi (jilid IV, h. 72-
74) dalam bab berjudul “Menangisi
Orang Mati” dinyatakan bahwa ketika
Khalifah ‘Umar terluka, Shuhaib datang
kepadanya sambil menangis, lalu ‘Umar
berkata,

“Ya Shuhaib, janganlah menangisi saya,
sedang Nabi telah mengatakan bahwa
orang mati dihukum apabila kaumnya
menangisinya.”

Setelah meninggalnya Khalifah ‘Umar,
ketika hal ini disebutkan
kepada ‘A’isyah, ia berkata, “Semoga
Allah menaruh kasihan kepada ‘Umar.
Rasulullah tidak mengatakan bahwa
menangisi kerabat menyebabkan hukuman
kepada si mati; beliau mengatakan
bahwa hukuman bagi seorang kafir
bertambah apabila kaumnya
menangisinya.” Setelah itu ‘A’isyah
mengatakan bahwa menurut Al-Qur’an tak
seorang pun akan memikul beban (dosa)
orang lain, maka mengapa beban (dosa)
orang yang menangisi akan ditimpakan
kepada si mati. Setelah itu ‘A’isyah
mengutip ayat,

“… Dan tidaklah seorang membuat dosa
melainkan kemudaratannya kembali
kepada dirinya sendiri….” (QS.
6:164; 17:15; 35:18; 39:7; 53:38)

Istri Nabi, ‘A’isyah, meriwayatkan
bahwa pada suatu hari Nabi melewati
seorang wanita Yahudi yang sedang
ditangisi kaumnya. Nabi lalu
berkata, “Kaumnya sedang menangisinya
tetapi ia sedang mengalami hukuman di
kubur.”

Kategori ketiga, periwayat hadis
adalah orang-orang yang mendengar
hadis yang telah dinasakh dari Nabi
tetapi tidak mendapat kesempatan untuk
mendengarkan hadis yang menasakhnya
yang dapat dihubungkannya kepada hadis
yang dinasakh. Suatu contoh hadis yang
menasakh ialah ucapan Nabi yang
mengandung rujukan kepada hadis yang
telah dinasakh, yakni, “Saya
(dahulunya) telah melarang Anda
menziarahi kubur, tetapi sekarang Anda
boleh menziarahinya.” (Muslim, III, h.
65; Tirmidzî, II, h. 370; Abu Dawud,
III, h, 218, 332; an-Nasa’i, IV, h.
89; Ibn Majah, I, h. 500-501; Mâlik
ibn Anas, II, h. 485; Ahmad ibn
Hanbal, I, h. 145, 452; II, h. 38, 63,
66, 237, 350; V, h. 350, 355, 356,
357, 359, 361; al-Hakim, al-Mustadrak,
I, h. 374-376; dan al-Baihaqi, IV, h.
76-77). Di sini izin ziarah kubur
telah menasakh larangan sebelumnya.
Sekarang, orang yang hanya
mendengarkan hadis yang telah dinasakh
itu terus bertindak sesuai dengan itu.

Kategori keempat, periwayat hadis
ialah orang-orang yang sepenuhnya
mengetahui prinsip-prinsip keadilan,
memiliki kecerdasan dan kearifan,
mengetahui saat ketika suatu hadis
mula-mula diucapkan Nabi, dan juga
mengenali hadis-hadis yang menasakh
dan yang dinasakh, yang khusus dan
yang umum, dan yang bersifat sementara
dan yang mutlak. Mereka menjauhi
kebatilan dan pemalsuan. Segala yang
mereka dengar tetap terpelihara dalam
ingatan mereka, dan mereka
menyampaikannya dengan tepat kepada
orang lain. Hadis-hadis dari merekalah
yang merupakan milik Islam yang amat
berharga, bebas dari penipuan dan
pemalsuan, dan patut diandalkan dan
diamalkan. Koleksi hadis-hadis yang
telah disampaikan melalui pribadi
seperti Amirul Mukminin dalam
pengetahuan Islam tetap terbebas dari
pemotongan, pemangkasan, atau
perubahan, secara tegas menyuguhkan
Islam dalam bentuknya yang sebenarnya.
Kedudukan Amirul Mukminin telah
terbukti dengan amat pasti melalui
hadis-hadis berikut dari Nabi,
seperti: Amirul Mukminin, Jabir
ibn ‘Abdullah, Ibn ‘Abbas
dan ‘Abdullah ibn ‘Umar telah
meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau
berkata,

“Saya adalah kota ilmu dan ‘Ali adalah
pintunya. Orang yang hendak
mendapatkan ilmu (saya) harus datang
melalui pintunya.” (al-Mustadrak, III,
h. 126-127; al-Istî’âb, III, h. 1102;
Usd al-Ghâbah, IV, h. 22; Tarikh al-
Baghdâdî, II, h. 377; Vn, h. 172; XI,
h. 48-50; Tadzkirah al-HuffâTh, Majma’
az-Zawâ’id, X, h. 114; Tahdzîb at-
Tahdzîb, VI, h. 320; VII, h. 337;
Lisân al-Mîzân, II, h. 122-123; Târîkh
al-Khulafâ’, h. 170; Kanz al-‘Ummâl,
VI, h. 152, 156, 401); ‘Umdah al-Qârî,
VII, h. 631; Syarh al-Mawâhib al-
Ladunniyyah, III, h. 143)

Amirul Mukminin dan Ibn ‘Abbas juga
telah meriwayatkan dari Nabi (saw)
bahwa:

“Saya adalah gudang kearifan dan ‘Ali
adalah pintunya. Orang yang hendak
mendapatkan kearifan harus datang
melalui pintunya.” (Hilyah al-Auliyâ’,
I, h. 64; Mashâbih as-Sunah, II, h.
275; Târîkh al-Baghdâdî, XI, h. 204;
Kanz al-‘Ummâl, VI, h. 401; ar-Riyâdh
an-Nadhirah, II, h. 193)

Alangkah baiknya apabila manusia dapat
mengambil berkah Nabi melalui sumber-
sumber pengetahuan ini. Tetapi adalah
suatu bab tragis dalam sejarah bahwa
walaupun hadis-hadis melalui kaum
Khariji dan musuh-musuh keluarga Nabi
diterima, namun bilamana rangkaian
perawi meliputi nama seseorang dari
kalangan keluarga Nabi, terdapat suatu
keraguan untuk menerima hadis itu.

Tinggalkan komen